MAKALAH
KEBUDAYAAN NASIONAL INDONESIA :
PENATAAN POLA PIKIR
Pendahuluan
Sejak proklamasi kemerdekaan hingga saat sekarang ini telah banyak pengalaman yang diperoleh bangsa kita tentang kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam negara Republik Indonesia, pedoman acuan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara itu adalah nilai-nilai dan norma- norma yang termaktub dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, sebagai sumber dan disain bagi terbentuknya kebudayaan nasional.
Sejak proklamasi kemerdekaan hingga saat sekarang ini telah banyak pengalaman yang diperoleh bangsa kita tentang kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam negara Republik Indonesia, pedoman acuan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara itu adalah nilai-nilai dan norma- norma yang termaktub dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, sebagai sumber dan disain bagi terbentuknya kebudayaan nasional.
Namun kita juga telah melihat bahwa,
khususnya dalam lima tahun terakhir, telah terjadi krisis pemerintahan dan
tuntutan reformasi (tanpa platform yang jelas) yang menimbulkan berbagai
ketidakmenentuan dan kekacauan. Acuan kehidupan bernegara (governance) dan
kerukunan sosial (social harmony) menjadi berantakan dan menumbuhkan
ketidakpatuhan sosial (social disobedience). Dari sinilah berawal
tindakan-tindakan anarkis, pelanggaran-pelanggaran moral dan etika, tentu pula
tak terkecuali pelanggaran hukum dan meningkatnya kriminalitas. Di kala hal ini
berkepanjangan dan tidak jelas kapan saatnya krisis ini akan berakhir, para
pengamat hanya bisa mengatakan bahwa bangsa kita adalah ?bangsa yang sedang
sakit, suatu kesimpulan yang tidak pula menawarkan solusi.
Timbul pertanyaan: mengapa bangsa
kita dicemooh oleh bangsa lain Mengapa pula ada sejumlah orang Indonesia yang
tanpa canggung dan tanpa merasa risi dengan mudah berkata, Saya malu menjadi
orang Indonesia dan bukannya secara heroik menantang dan mengatakan,Saya siap
untuk mengangkat Indonesia dari keterpurukan ini? Mengapa pula wakil-wakil
rakyat dan para pemimpin malahan saling tuding sehingga menjadi bahan olok-olok
orang banyak. Mengapa pula banyak orang, termasuk kaum intelektual, kemudian
menganggap Pancasila harus disingkirkan sebagai dasar negara? Kaum intelektual
yang sama di masa lalu adalah penatar gigih, bahkan manggala dalam pelaksanaan
Penataran P-4. Pancasila adalah asas bersama bagi bangsa ini (bukan asas
tunggal). Di samping itu, makin banyak orang yang kecewa berat
terhadap, bahkan menolak, perubahan UUD 1945 (lebih dari sekedar amandemen) sehingga perannya sebagai pedoman dan acuan kehidupan berbangsa dan bernegara dapat diibaratkan sebagai menjadi lumpuh.
terhadap, bahkan menolak, perubahan UUD 1945 (lebih dari sekedar amandemen) sehingga perannya sebagai pedoman dan acuan kehidupan berbangsa dan bernegara dapat diibaratkan sebagai menjadi lumpuh.
Perjalanan panjang hampir enam
dasawarsa kemerdekaan Indonesia telah memberikan banyak pengalaman kepada
warganegara tentang kehidupan berbangsa dan bernegara. Nation and character
building sebagai cita- cita membentuk kebudayaan nasional belum dilandasi oleh
suatu strategi budaya yang nyata (padahal ini merupakan konsekuensi dari
dicetuskannya Proklamasi Kemerdekaan sebagai de hoogste politieke beslissing
dan diterimanya Pancasila sebagai dasar negara dan UUD 1945 sebagai hukum dasar
negara
Proses Pembentukan Kebudayaan Nasional Indonesia: Identitas
Nasional Dan Kesadaran Nasional
Di masa lalu, kebudayaan nasional
digambarkan sebagai puncak-puncak kebudayaan di daerah-daerah di seluruh
Indonesia. Namun selanjutnya, kebudayaan nasional Indonesia perlu diisi oleh
nilai-nilai dan norma- norma nasional sebagai pedoman bagi kehidupan berbangsa
dan bernegara di antara seluruh rakyat Indonesia. Termasuk di dalamnya adalah
nilai-nilai yang menjaga kedaulatan negara dan integritas teritorial yang
menyiratkan kecintaan dan kebanggaan terhadap tanah air, serta kelestariannya,
nilai-nilai tentang kebersamaan, saling menghormati, saling mencintai dan
saling menolong antar sesama warganegara, untuk bersama-sama menjaga kedaulatan
dan martabat bangsa.
Pembentukan identitas dan karakter
bangsa sebagai sarana bagi pembentukan pola pikir (mindset) dan sikap mental,
memajukan adab dan kemampuan bangsa, merupakan tugas utama dari pembangunan
kebudayaan nasional. Singkatnya, kebudayaan nasional adalah sarana bagi kita
untuk memberikan jawaban atas pertanyaan:. Siapa kita (apa identitas kita) Akan
kita jadikan seperti apa bangsa kita? Watak bangsa semacam apa yang kita
inginkan? Bagaimana kita harus mengukir wujud masa depan bangsa dan tanah air
kita??
Jawaban terhadap sederet pertanyaan
di atas telah dilakukan dalam berbagai wacana mengenai pembangunan kebudayaan
nasional dan pengembangan kebudayaan nasional. Namun strategi kebudayaan
nasional untuk menjawab wacana tersebut di atas belum banyak dikemukakan dan
dirancang selama lebih dari setengah abad usia negara ini, termasuk dalam
kongres-kongres kebudayaan yang lalu. Gagasan tentang kebudayaan nasional
Indonesia yang menyangkut kesadaran dan identitas sebagai satu bangsa sudah
dirancang saat
bangsa kita belum merdeka. Hampir dua dekade sesudah Boedi Oetomo, Perhimpunan Indonesia telah menanamkan kesadaran tentang identitas Indonesia dalam Manifesto Politiknya (1925), yang dikemukakan dalam tiga hakekat, yaitu: (1) kedaulatan rakyat, (2) kemandirian dan (3) persatuan Indonesia. Gagasan ini kemudian segera direspons dengan semangat tinggi oleh Sumpah Pemuda pada tahun 1928.
bangsa kita belum merdeka. Hampir dua dekade sesudah Boedi Oetomo, Perhimpunan Indonesia telah menanamkan kesadaran tentang identitas Indonesia dalam Manifesto Politiknya (1925), yang dikemukakan dalam tiga hakekat, yaitu: (1) kedaulatan rakyat, (2) kemandirian dan (3) persatuan Indonesia. Gagasan ini kemudian segera direspons dengan semangat tinggi oleh Sumpah Pemuda pada tahun 1928.
Makalah ini akan membatasi diri pada
dua hal pokok yang menurut hemat penulis? perlu menjadi titik-tolak utama dalam
membentuk kebudayaan nasional, yaitu: (1) identitas nasional dan (2) kesadaran
nasional. Dalam kaitan ini, Bhineka Tunggal Ika adalah suatu manifesto kultural
(pernyataan das Sollen) dan sekaligus merupakan? suatu titik-tolak strategi
budaya untuk bersatu sebagai satu bangsa.
Di masa awal Indonesia merdeka,
identitas nasional ditandai oleh bentuk fisik dan kebijakan umum bagi seluruh
rakyat Indonesia (di antaranya adalah penghormatan terhadap Sang Saka
Merah-Putih, lagu kebangsaan Indonesia Raya, Bahasa Nasional, pembentukan TKR
yangkemudian menjadi TNI, PNS, sistem pendidikan nasional, sistem hukum
nasional, sistem perekonomian nasional, sistem pemerintahan dan sistem
birokrasi nasional.). Di pihak lain, kesadaran nasional dipupuk dengan
menanamkan gagasan nasionalisme dan patriotisme.
Kesadaran nasional selanjutnya
menjadi dasar dari keyakinan akan perlunya memelihara dan mengembangkan harga
diri bangsa, harkat danmartabat bangsa sebagai perjuangan mencapai peradaban,
sebagai upaya melepaskan bangsa dari subordinasi (ketergantungan,
ketertundukan, keterhinaan) terhadap bangsa asing atau kekuatan asing. Secara
internal manusia dan masyarakat memiliki intuisi dan aspirasi untuk mencapai
kemajuan. Secara internal, pengaruh dari luar selalu mendorong masyarakat, yang
dinilai statis sekali pun, untuk bereaksi terhadap rangsangan-rangsangan dari lingkungannya.
Rangsangan besar dari lingkungan pada saat ini datang dari media masa, melalui
pemberitaan maupun pembentukan opini. Pengaruh internal dan khususnya eksternal
ini merupakan faktor strategis bagi terbentuknya suatu kebudayaan nasional.
Sistem dan media komunikasi menjadi sarana strategis yang dapat diberi peran
strategis pula untuk memupuk identitas nasional dan kesadaran nasional.
Bangsa Indonesia: Pluralistik dan
Multikultural
Kita tidak dapat pula mengingkari
sifat pluralistik bangsa kita sehingga perlu pula memberi tempat bagi
berkembangnya kebudayaan sukubangsa dan kebudayaan agama yang dianut oleh
warganegara Indonesia. Dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan sukubangsa dan
kebudayaan agama, bersama-sama dengan pedoman kehidupan berbangsa dan
bernegara, mewarnai perilaku dan kegiatan kita. Berbagai kebudayaan itu
berseiringan, saling melengkapi dan saling mengisi, tidak berdiri
sendiri-sendiri, bahkan mampu untuk saling menyesuaikan (fleksibel) dalam
percaturan hidup sehari-hari.
Dalam konteks itu pula maka ratusan
suku-sukubangsa yang terdapat di Indonesia perlu dilihat sebagai aset negara
berkat pemahaman akan lingkungan alamnya, tradisinya, serta potensi-potensi
budaya yang dimilikinya, yang keseluruhannya perlu dapat didayagunakan bagi pembangunan
nasional. Di pihak lain, setiap sukubangsa juga memiliki hambatan budayanya
masing-masing, yang berbeda antara sukubangsa yang satu dengan yang lainnya.
Maka menjadi tugas negaralah untuk memahami, selanjutnya mengatasi
hambatan-hambatan budaya masing- masing sukubangsa, dan secara aktif memberi
dorongan dan peluang bagi munculnya potensi-potensi budaya baru sebagai
kekuatan bangsa.
Banyak wacana mengenai bangsa
Indonesia mengacu kepada ciri pluralistik bangsa kita, serta mengenai
pentingnya pemahaman tentang masyarakat Indonesia sebagai masyarakat yang
multikultural. Intinya adalah menekankan pada pentingnya memberikan kesempatan
bagi berkembangnya masyarakat multikultural itu, yang masing-masing harus
diakui haknya untuk mengembangkan dirinya melalui kebudayaan mereka di tanah
asal leluhur mereka. Hal ini juga berarti bahwa masyarakat multikultural harus?
memperoleh kesempatan yang baik untuk menjaga dan mengembangkan kearifan budaya
lokal mereka ke arah kualitas dan pendayagunaan yang lebih baik.
Kelangsungan dan berkembangnya
kebudayaan lokal perlu dijaga dan dihindarkan dari hambatan. Unsur-unsur budaya
lokal yang bermanfaat bagi diri sendiri bahkan perlu dikembangkan lebih lanjut
agar dapat menjadi bagian dari kebudayaan bangsa, memperkaya unsur-unsur
kebudayaan nasional. Meskipun demikian, sebagai kaum profesional Indonesia,
misi utama kita adalah mentransformasikan kenyataan multikultural sebagai aset
dan sumber kekuatan bangsa, menjadikannya suatu sinergi nasional, memperkukuh
gerak konvergensi, keanekaragaman.
Oleh karena itu, walaupun masyarakat
multikultural harus dihargai potensi dan haknya untuk mengembangkan diri
sebagai pendukung kebudayaannya di atas tanah kelahiran leluhurnya, namun pada
saat yang sama, mereka juga harus tetap diberi ruang dan kesempatan untuk mampu
melihat dirinya, serta dilihat oleh masyarakat lainnya yang sama-sama merupakan
warganegara Indonesia, sebagai bagian dari bangsa Indonesia, dan tanah
leluhurnya termasuk sebagai bagian dari tanah air Indonesia. Dengan demikian,
membangun dirinya, membangun tanah leluhurnya, berarti juga membangun bangsa
dan tanah air tanpa merasakannya sebagai beban, namun karena ikatan kebersamaan
dan saling bekerjasama.
Upaya Membangun Kebudayaan Nasional
Indonesia: Penataan Pola Pikir
Kita perlu memahami kembali bahwa
warga dari bangsa yang pluralistik ini adalah rakyat yang juga warganegara dari
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus
1945. Karena itu diperlukan adanya wawasan? dan pemahaman mengenai kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Kita juga harus membuka diri untuk
memahami Pancasila, sekaligus bersedia membedakan antara substansi ideal dan
kemuliaannya sebagai dasar peradaban, dengan Pancasila yang pelaksanaannya
sengaja dikemas dan absurd secara politis demi kepentingan memperoleh dan
mempertahankan kekuasaan, yang telah menyebabkan Pancasila dikambinghitamkan
dan dibenci sebagai penyebab timbulnya kediktatoran. Sejak mundurnya Presiden
Soeharto, di lingkungan masyarakat awam dan profesional tak jarang terdengar
pernyataan kejenuhan, kebencian atau alergi terhadap perkataan Pancasila.
Sebaliknya kita harus memahami Pancasila yang lahir dari hasil pikiran para
pendiri Republik Indonesia yang kemudian dirangkum oleh Bung Karno pada saat
lahirnya pada tanggal 1 Juni 1945, untuk dijadikan Dasar Negara, sebagai
jawaban atas pertanyaan Dr. K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat:Apa dasar negara
kita nanti.
Kelima butir Pancasila itu merupakan
refleksi buah pikiran yang telah secara tulus ikhlas dipersiapkan secara serius
dan mendalam oleh para pendiri negara kita menjelang Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, kemudian dimatangkan (dalam wadah Badan
Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, disingkat BPUPKI) untuk
menjadi pedoman berperilaku nasional dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dengan dasar negara itu maka bangsa ini memiliki pegangan dan rujukan, tidak
ela-elo (Sastro Gending di zaman Sultan Agung yang menggambarkan
porak-porandanya bangsa ini, seakan kehilangan pegangan, jati diri, harga diri
dan percaya diri).
Amandemen UUD 1945 yang dilakukan
oleh wakil-wakil rakyat kita baru- baru ini, di mana Pancasila tersurat di
dalamnya, dinilai tidak sesuai dengan tujuannya melainkan justru merubah makna
yang terkandung di dalamnya. Oleh karena itu, pada saat generasi penerus dan
cendekiawan kita masa kini belum mampu menyusun suatu? pedoman acuan lain yang
dianggap dapat mengungguli Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945 untuk
menjaga persatuan bangsa, mensejahterakan rakyat Indonesia dan menjaga keutuhan
tanah air kita, maka pada saat ini, niat untuk menghapus Pancasila itulah yang
harus ditanggalkan dari mindset kita. Sebaliknya, distorsi terhadap mindset
perlu diluruskan dengan cara memahami Pancasila yang sebenarnya. Hal ini
merupakan suatu tindakan yang dilandasi oleh suatu urgensi untuk menghindarkan
bangsa kita dari ketidakadilan yang menyebabkan kekacauan, ketidakrukunan,
makin luasnya disintegrasi sosial, serta koyaknya keutuhan negara.
Bukanlah suatu hal yang aneh atau
tabu, atau dinilai ketinggalan zaman bila kita menoleh kembali kepada
nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945 yang sudah disiapkan
oleh para pendiri negara kita. Hakekat reformasi adalah pembaharuan dan juga
back-to- basics, dalam arti meluruskan yang keliru dan keluar jalur. Kemajuan
peradaban tidak terlepas dari proses pembelajaran makna? sejarah sebagai acuan
untuk membangun masa depan.
Nilai-nilai dalam UUD 1945
menanamkan pentingnya kehidupan yang cerdas, yang diutarakan dalam kalimat
?mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diartikan sebagai membangun kehidupan yang
bermartabat, tidak rendah diri, dan mampu menjadi tuan di negeri sendiri.
Terdistorsinya nilai-nilai ini? terlihat dari contoh yang sedang kita saksikan
sekarang ini (dan sebagian dari kita mewajarkannya pula), yaitu adanya
pembodohan sosial di hadapan kita, antara lain dengan diajukannya pandangan
bahwa nation state tidak relevan lagi di dalam globalisasi, dalam dunia yang
borderless. Paham borderless world ini tentu banyak ditentang oleh
negara-negara yang lemah, namun didukung oleh negara-negara kuat yang
memelihara hegemonisme dan predatorisme. [6] Pelaku dan korban pembodohan
sosial ini tak terkecuali pula sebagian dari kaum intelektual kita, yang
sama-sama termakan oleh pola pikir atau mindset asing yang dengan sengaja ingin
menempatkan bangsa kita pada posisi subordinasi
Strategi Budaya: Mutualisme Dan Kerjasama Sinergis
Upaya untuk membentuk suatu mindset
kebersamaan dan kerjasama sinergis bangsa Indonesia dan membangun rasa
kekeluargaan (brotherhood, bukan kinship), perasaan saling memiliki (shared
intrerest dan common property) perlu dikembangkan, baik yang berada di tingkat
keluarga, ketetanggaan, masyarakat luas hingga ke tingkat negara. Demikian pula
halnya, orientasi mutualisme dan kerjasama sinergis sebagai jiwa dalam UUD 1945
itu harus menjadi titik-tolak dan landasan bagi penyusunan program-program
pembangunan nasional secara luas. Menurut hemat penulis, hal ini bukanlah
sesuatu yang mustahil untuk dilaksanakan. Perencanaan pembangunan nasional
harus pula memiliki metode dan mekanisme untuk mewujudkan program-program atau
pun proyek-proyek yang memfasilitasi terbentuknya prinsip-prinsip mutualitas
dan kebersamaan sinergis Beberapa contoh akan dikemukakan di bawah ini.
Di bidang pendidikan nasional,
misalnya, penataan pola pikir harus dilakukan dalam sistem pendidikan nasional
dengan tujuan menghilangkan unsur-unsur yang mendorong orientasi persaingan
yang berlebihan dan tidak fair, atau bahkan telah menimbulkan semacam
permusuhan (dimulai dari sistem ranking, pembedaan jenis dan kualitas sekolah,
lengkap dengan istilahnya seperti sekolah unggulan dan bukan sekolah unggulan,
hingga persaingan antar sekolah yang berwujud tawuran pelajar dan perbuatan
negatif lainnya). Persaingan haruslah sebatas berlomba, bukan eksklusivisme
yang mengakibatkan renggangnya kerukunan sosial. Penataan pola pikir dalam
sistem pendidikan nasional harus menum buhkan pola kerjasama antar siswa,
misalnya melalui praktek-praktek kegiatan belajar yang diisi “proyek bersama”
siswa dalam pembahasan materi pelajaran, atau pelaksanaan kegiatan seni-budaya
dan rekreasi bersama antar sekolah-sekolah, menanamkan kesadaran sebagai siswa
sekolah Indonesia, di manapun tempat bersekolahnya.
Modernisasi tidak dapat dipisahkan
dari pendidikan. Upaya bertahan hidup (survival) ditentukan oleh pendidikan dan
proses pembelajaran yang menyertainya. Dari yang dikemukakan di atas,
pendidikan merupakan faktor terpenting untuk proses pembentukan dan pemantapan
identitas nasional dan kesadaran nasional serta memformulasikan mindset bangsa.
Sosialisasi dari platform rnasional akan memformulasi mindset masyarakat.
Adalah suatu kecelakaan besar bahwa posisi dan peran kebudayaan dalam pembangunan
nasional telah direduksi dengan dipindahkannya Direktorat Jenderal Kebudayaan
ke luar Departemen Pendidikan Nasional. Oleh karena itu kini Kementerian
Kebudayaan dan Pariwisata menyandang tugas berat sebagai lembaga yang harus
mentransformasikan nilai-nilai budaya ke dalam penyelenggaraan pendidikan dan
pembelajaran, sehingga kebudayaan tidak tereduksi menjadi sekedar kesenian dan
pariwisata. Dengan demikian pendidikan dan kebudayaan dapat tetap utuh untuk
berperan dan mampu berdialog dengan peradaban.
Di bidang sosial-budaya, dalam
konteks mutualisme dan perasaan saling memiliki, suatu hal yang juga penting
sebagai suatu proses alamiah yang telah ikut memberikan isi kepada kesadaran
nasional dan identitas nasional adalah ketika kebersamaan memperoleh esensi
persaudaraan (brotherhood) dan keluarga luas (extended family), dengan makin
meningkatnya perkawinan antarsukubangsa di tengah masyarakat kita, yang
menimbulkan perasaan saling menghargai dan kebersamaan, meskipun masing-masing
pihak tetap memelihara identitasnya. Hal ini sejalan dengan apa yang
dikemukakan oleh Gudykunst dan Young Yun Kim yang menggambarkan komunikasi yang
mencerminkan mutualisme, perasaan bersama dan sinergi (togetherness) dalam
tulisan mereka, Communicating with Strangers (1997). Dalam pemahaman prinsip
kebersamaan dan kerjasama sinergi ini pula kita dapat lebih mengamati adanya
primordialisme yang memperoleh makna baru di antara masyarakat kita.
Dengan orientasi kebersamaan dan
kerjasama pula, di bidang perhubungan, perlu digerakkan usaha seluruh maskapai
penerbangan nasional untuk maju bersama demi kemajuan seluruh bangsa.
Penggunaan berbagai jenis pesawat yang mampu menerobos isolasi, menjangkau
pelosok tanah air yang terpencil serta mendekatkan jarak sosial- politik dan
jarak psiko-sosiokultural di dalam jarak mileage fisik. Demikian pula dengan
pembangunan industri pariwisata di berbagai pelosok tanah air.
Di bidang ekonomi, mutualisme memang
dapat lebih nyata dan praktis dilaksanakan. Baru-baru ini kita telah melihat
proses mulai tumbuhnya kerjasama antar provinsi yang jauh dari pola pikir
persaingan, melainkan dilandasi oleh pola pikir kebersamaan dan mutualitas,
sebagaimana yang ditunjukkan oleh gagasan untuk membentuk Gerakan Pembangunan
Mina Bahari. Penulis menyaksikan semangat menggebu-gebu dari para camat dan
bupati yang mulai merancang program kerja antar daerah yang termasuk dalam
jangkauan gerakan pembangunan di Teluk Tomini itu. Percikan semangat
kebersamaan itu bahkan juga menjangkau komuniti nelayan Bajo yang masih hidup
dalam kondisi keterbatasan sosial-ekonomi di Kecamatan Pagimana, Kabupaten
Luwuk, Sulawesi Tengah, yang berharap memperoleh partisipasi pula dalam gerakan
pembangunan ini melalui pemanfaatan potensi budaya mereka sebagai nelayan.
Dengan demikian, manfaatnya tidak saja berupa keuntungan ekonomi yang bersifat
regional melainkan juga nasional. Selain itu proyek ini juga dapat memberikan
kebanggaan daerah dan kebanggaan nasional, perluasan tenaga kerja, sekaligus
meningkatkan harkat ekonomi dan sosial rakyat di daerah- daerah, termasuk
rakyat kecil, yang bersemangat untuk membangun daerah mereka agar menjadi tuan
di negeri sendiri. Semangat ini telah mulai membentukkan suatu kohesi sosial,
yang makin luas jangkauan teritorialnya, dan akan makin luas pula dampaknya
terhadap penjalinan persatuan nasional. Di samping itu perlu pula diberikannya
peluang yang mendorong kemampuan entrepreneurial dalam masyarakat.
Di bidang hukum, kasus-kasus
penggusuran yang tidak memihak rakyat dan merupakan kasus-kasus alienasi dan
marginalisasi, pelumpuhan dan pemiskinan terhadap suatu kelompok, merupakan
hal-hal yang bertentangan dengan mutualisme dan keadilan sosial, dan harus
segera dihentikan. Hal ini bertentangan dengan amanah Pembukaan UUD 1945:
melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia Penataan pola
pikir perlu dilakukan terhadap sistem hukum yang tidak dilandasi oleh
keberpihakan dan perlindungan kepada rakyat, sebagai perwujudan dari
nilai-nilai dalam Preambul UUD 1945 itu.
Berbagai contoh di atas kiranya juga
menunjukkan bahwa otonomi daerah tidak akan berjalan dengan baik jika
pembangunan daerah tidak dilandasi oleh orientasi pola pikir kerjasama.
Kebersamaan dan kerjasama antar Pemda-Pemda di tingkat kabupaten, antar
Kabupaten dan Provinsi, juga harus beriorientasi pada pola pikir membangun
seluruh bangsa Indonesia, bukan sekedar membangun rakyat lokal. Sulit
diperkirakan tentang akan tercapainya keberhasilan otonomi daerah yang masih
dilandasi oleh orientasi pola pikir persaingan (mengabaikan kerjasama) dan
orientasi penguasaan (eksklusivisme
sumber daya alam dan sumber daya manusia) di antara provinsi, hanya akan mempercepat jatuhnya bangsa lewat otonomi daerah yang tidak ditunjang oleh sikap mental mutualistik dan kerjasama demi kesatuan bangsa.
sumber daya alam dan sumber daya manusia) di antara provinsi, hanya akan mempercepat jatuhnya bangsa lewat otonomi daerah yang tidak ditunjang oleh sikap mental mutualistik dan kerjasama demi kesatuan bangsa.
Penutup
Sebagai penutup dapat diulangi di
sini bahwa dalam penataan mindset untuk membentuk kebudayaan nasional
Indonesia, makalah ini mengambil titik-tolak utama sebagai awal strategis: (1)
identitas nasional dan (2) kesadaran nasional Pertama, rakyat Indonesia yang
pluralistik merupakan kenyataan, yang harus dilihat sebagai aset nasional,
bukan resiko atau beban. Rakyat adalah potensi nasional harus diberdayakan,
ditingkatkan potensi dan produktivitas fisikal, mental dan kulturalnya. Kedua,
tanah air Indonesia sebagai aset nasional yang terbentang dari Sabang sampai
Merauke dan dari Miangas sampai Rote, merupakan tempat bersemayamnya semangat
kebhinekaan. Adalah kewajiban politik dan intelektual kita untuk
mentransformasikan kebhinekaan menjadi ketunggalikaan dalam identitas dan
kesadaran nasional. Ketiga, diperlukan penumbuhan pola pikir yang dilandasi
oleh prinsip mutualisme, kerjasama sinergis saling menghargai dan memiliki
(shared interest) dan menghindarkan pola pikir persaingan tidak sehat yang
menumbuhkan eksklusivisme, namun sebaliknya, perlu secara bersama-sama berlomba
meningkatkan daya saing dalam tujuan peningkatan kualitas sosial-kultural
sebagai bangsa. Keempat, membangun kebudayaan nasional Indonesia harus mengarah
kepada suatu strategi kebudayaan untuk dapat menjawab pertanyaan, Akan kita
jadikan seperti apa bangsa kita yang tentu jawabannya adalah menjadi bangsa
yang tangguh dan entrepreneurial, menjadi bangsa Indonesia dengan ciri-ciri
nasional Indonesia, berfalsafah dasar Pancasila, bersemangat bebas-aktif mampu
menjadi tuan di negeri sendiri, dan mampu berperanan penting dalam percaturan
global dan dalam kesetaraan juga mampu menjaga perdamaian dunia. Kelima, yang
kita hadapi saat ini adalah krisis budaya. Tanpa segera ditegakkannya upaya
membentuk secara tegas identitas nasional dan kesadaran nasional, maka bangsa
ini akan menghadapi kehancuran.
DAFTAR PUSTAKA ACUAN
Anderson, Benedict. (1983). Imagined Communities: Reflection on
the Origin and Spread of Nationalism, Wonder: Verso.
Anderson, Benedict. (1983). Imagined Communities: Reflection on
the Origin and Spread of Nationalism, Wonder: Verso.
Danusiri, Aryo & Wasmi Alhaziri, ed. (2002). Pendidikan
Memang
Multikultural: Beberapa Gagasan. Jakarta: SET.
Multikultural: Beberapa Gagasan. Jakarta: SET.
Forum Rektor Indonesia Simpul Jawa Timur (2003). Hidup
Berbangsa dan
Etika Multikultural. Surabaya: Penerbit Forum Rektor Simpul Jawa
Timur Universitas Surabaya.
Etika Multikultural. Surabaya: Penerbit Forum Rektor Simpul Jawa
Timur Universitas Surabaya.
Greenfeld, Leah (2001). The Spirit of Capitalism:
Nationalism and
Economic Growth, Cambridge, Mass.: Harvard University Press
Economic Growth, Cambridge, Mass.: Harvard University Press
Gudykunst, William B. dan Young Yun Kim (1997).
Communicating with
Strangers. Boston: McGraw Hill.
Strangers. Boston: McGraw Hill.
Kompas (2003). ?Presiden Canangkan Gerbang Mina Bahari?,
hlm. 11
kol. 1-3, 12 Oktober.
kol. 1-3, 12 Oktober.
Lustick, Ian S. (2002). ?Hegemony and the Riddle of
Nationalism: The
Dialectics of Nationalism and Religion in the Middle East?, Logos
Vol. One, Issue Three, Summer , hlm. 18-20.
Dialectics of Nationalism and Religion in the Middle East?, Logos
Vol. One, Issue Three, Summer , hlm. 18-20.
Petras, James dan Henry Veltmeyer (2001). Globalization
Unmasked:
Imperialism in the 20 th Century. London: Zed Books, 2001. ?
Imperialism in the 20 th Century. London: Zed Books, 2001. ?
Smith, J.W. (2000). Economic Democracy: The Political
Struggle of
the Twenty-First Century, New York: M.E. Sharpe.
the Twenty-First Century, New York: M.E. Sharpe.
Sulastomo (2003). Reformasi: Antara Harapan dan Realita.
Jakarta:
Penerbit Buku Kompas.
Penerbit Buku Kompas.
Swasono, Meutia F.H. (1974). Generasi Muda Minangkabau di
Jakarta:
Masalah Identitas Sukubangsa. Skripsi Sarjana. Jakarta: Fakultas
Sastra UI.
Masalah Identitas Sukubangsa. Skripsi Sarjana. Jakarta: Fakultas
Sastra UI.
— (1999). ?Reaktualisasi dan Rekontekstualisasi Bhinneka
Tunggal
Ika dalam Kerangka Persatuan dan Kesatuan Bangsa?, makalah pada
seminar yang diselenggarakan oleh IAIN Syarif Hidayatullah dan
Yayasan Haji Karim Oei, Jakarta, 6 Mei.
Ika dalam Kerangka Persatuan dan Kesatuan Bangsa?, makalah pada
seminar yang diselenggarakan oleh IAIN Syarif Hidayatullah dan
Yayasan Haji Karim Oei, Jakarta, 6 Mei.
(2000a). ?Reaktualisasi Bhinneka Tunggal Ika dalam
Menghadapi
Disintegrasi Bangsa?, makalah diajukan dalam Simposium dan Lokakarya
Internasional dengan? tema ?Mengawali Abad ke-21: Menyongsong
Otonomi Daerah, Mengenali Budaya Lokal, Membangun Integrasi Bangsa?,
diselenggarakan oleh Jurnal Antropologi Indonesia bekerjasama dengan
Jurusan Antropologi Universitas Hasanuddin, di ?Makassar, 1-5
Agustus 2000.
Disintegrasi Bangsa?, makalah diajukan dalam Simposium dan Lokakarya
Internasional dengan? tema ?Mengawali Abad ke-21: Menyongsong
Otonomi Daerah, Mengenali Budaya Lokal, Membangun Integrasi Bangsa?,
diselenggarakan oleh Jurnal Antropologi Indonesia bekerjasama dengan
Jurusan Antropologi Universitas Hasanuddin, di ?Makassar, 1-5
Agustus 2000.
— (2000b). ?Kebudayaan? Nasional sebagai Kekuatan Pemersatu
Bangsa?, makalah dalam Seminar Sehari tentang Aktualisasi Nilai-
Nilai Sumpah Pemuda dan Bhineka Tunggal Ika, diselenggarakan oleh
DPP Badan Interaksi Sosial Masyarakat (DPP-BISMA) di Jakarta, 25
November.
Bangsa?, makalah dalam Seminar Sehari tentang Aktualisasi Nilai-
Nilai Sumpah Pemuda dan Bhineka Tunggal Ika, diselenggarakan oleh
DPP Badan Interaksi Sosial Masyarakat (DPP-BISMA) di Jakarta, 25
November.
— (2002). ?Strategi Pembangunan dan Pengembangan Pariwisata?
Menjelang AFTA 2002?, Perencanaan Pembangunan. Januari-Maret 2003,
hlm. 10-15.
Menjelang AFTA 2002?, Perencanaan Pembangunan. Januari-Maret 2003,
hlm. 10-15.
— (2003a). ?Merancang Masa Depan Indonesia di Tengah
Tantangan
Globalisasi dan Demokratisasi?, makalah diajukan dalam Seminar
Nasional Merancang Masa Depan Indonesia di Tengah Tantangan
Globalisasi dan Demokratisasi, diselenggarakan oleh Senat Mahasiswa
FISIP-UI di Depok, 30-31 Januari.
Globalisasi dan Demokratisasi?, makalah diajukan dalam Seminar
Nasional Merancang Masa Depan Indonesia di Tengah Tantangan
Globalisasi dan Demokratisasi, diselenggarakan oleh Senat Mahasiswa
FISIP-UI di Depok, 30-31 Januari.
— (2003b). 4. ?Membangun Kebudayaan Nasional?, majalah
Perencanaan
Pembangun?an, No.31,? April-Juni 2003,? hlm. 42-48.
Pembangun?an, No.31,? April-Juni 2003,? hlm. 42-48.
— (2003c). ?Masalah Psikososial, Pandangan Masyarakat
tentang
Kesehatan Jiwa, dan Membangun Jiwa Bangsa?, makalah diajukan pada
Konvensi Nasional Kesehatan Jiwa II di Jakarta, 9-11 Oktober.
Kesehatan Jiwa, dan Membangun Jiwa Bangsa?, makalah diajukan pada
Konvensi Nasional Kesehatan Jiwa II di Jakarta, 9-11 Oktober.
Swasono, S.E. (2003a). ?Pluralisme, Mutualisme dan Semangat
Bersatu:
Mempertanya?kan Jatidiri Bangsa?, makalah utama diajukan pada Dies
Natalis ke-57 Fakultas Ilmu Budaya UGM, Yogyakarta 25 Februari 2003.
Mempertanya?kan Jatidiri Bangsa?, makalah utama diajukan pada Dies
Natalis ke-57 Fakultas Ilmu Budaya UGM, Yogyakarta 25 Februari 2003.
Swasono, S.E. (2003b). Kemandirian Bangsa, Tantangan
Perjuangan dan
Entre?preneurship Indonesia. Yogyakarta: Universitas Janabadra.
Entre?preneurship Indonesia. Yogyakarta: Universitas Janabadra.
Tambunan, A.S.S. (2002). UUD 1945 Sudah Diganti Menjadi UUD
2002
Tanpa Mandat Khusus Rakyat. Jakarta: Yayasan Kepada Bangsaku.
Tanpa Mandat Khusus Rakyat. Jakarta: Yayasan Kepada Bangsaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar