BPPT Kembangkan Teknologi Baru Modifikasi Cuaca
REPUBLIKA.CO.ID, BANJARBARU -- Badan Pusat Pengkajian
dan Penerapan Teknologi (BPPT) mengembangkan teknologi baru pelaksanaan
Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) atau hujan buatan yang disebut sistem kembang api
(flare).
Koordinator Lapangan TMC-BPPT Djazim Syaifullah di Posko TMC Bandara Syamsuddin Noor Banjarmasin di Banjarbaru, Selasa (29/10), mengatakan sistem itu dikembangkan BPPT untuk memenuhi permintaan hujan buatan.
"Selain sistem penaburan (shorti), BPPT juga mulai menerapkan sistem kembang api atau percikan garam di sayap pesawat yang disebut flare," ujarnya kepada wartawan.
Ia mengatakan, BPPT memiliki satu pesawat kecil jenis Cessna untuk mendukung operasi hujan buatan menggunakan sistem flare yang dinilai lebih efektif.
Meski demikian, kata dia, teknik modifikasi cuaca menggunakan sistem penaburan garam (shorti) diatas awan pembentuk hujan juga tetap menjadi andalan lembaga tersebut.
"Sistem flare lebih efektif karena garam dipercik melalui sayap pesawat, tetapi teknik penaburan garam secara manual dari belakang pesawat juga masih menjadi andalan," ungkapnya.
Menurut dia, penerapan TMC di Indonesia yang dimulai sejak 1987 terus dan permintaan dibuatkan hujan buatan melalui teknologi modifikasi cuaca cukup banyak.
"Permintaan cukup banyak baik dari pemerintah maupun swasta bahkan BPPT kewalahan memenuhi permintaan teknologi modifikasi cuaca dari berbagai pihak," ujarnya.
Dikatakan, kendala yang dihadapi BPPT adalah kekurangan anggaran dan tenaga sehingga cukup menghambat operasional baik secara kelembagaan maupun di lapangan.
"Pesawat yang dimiliki juga sudah berkurang karena di era pemerintahan BJ Habibie, BPPT punya enam pesawat jenis Casa-200 pendukung operasi TMC tetapi sekarang hanya lima buah pesawat," katanya.
Koordinator Lapangan TMC-BPPT Djazim Syaifullah di Posko TMC Bandara Syamsuddin Noor Banjarmasin di Banjarbaru, Selasa (29/10), mengatakan sistem itu dikembangkan BPPT untuk memenuhi permintaan hujan buatan.
"Selain sistem penaburan (shorti), BPPT juga mulai menerapkan sistem kembang api atau percikan garam di sayap pesawat yang disebut flare," ujarnya kepada wartawan.
Ia mengatakan, BPPT memiliki satu pesawat kecil jenis Cessna untuk mendukung operasi hujan buatan menggunakan sistem flare yang dinilai lebih efektif.
Meski demikian, kata dia, teknik modifikasi cuaca menggunakan sistem penaburan garam (shorti) diatas awan pembentuk hujan juga tetap menjadi andalan lembaga tersebut.
"Sistem flare lebih efektif karena garam dipercik melalui sayap pesawat, tetapi teknik penaburan garam secara manual dari belakang pesawat juga masih menjadi andalan," ungkapnya.
Menurut dia, penerapan TMC di Indonesia yang dimulai sejak 1987 terus dan permintaan dibuatkan hujan buatan melalui teknologi modifikasi cuaca cukup banyak.
"Permintaan cukup banyak baik dari pemerintah maupun swasta bahkan BPPT kewalahan memenuhi permintaan teknologi modifikasi cuaca dari berbagai pihak," ujarnya.
Dikatakan, kendala yang dihadapi BPPT adalah kekurangan anggaran dan tenaga sehingga cukup menghambat operasional baik secara kelembagaan maupun di lapangan.
"Pesawat yang dimiliki juga sudah berkurang karena di era pemerintahan BJ Habibie, BPPT punya enam pesawat jenis Casa-200 pendukung operasi TMC tetapi sekarang hanya lima buah pesawat," katanya.
Sumber Berita:
http://berita.plasa.msn.com/teknologi/republika/bppt-kembangkan-teknologi-baru-modifikasi-cuaca
(01-11-2013)
Analisa
dan Komentar :
Jika
Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) telah efektif digunakan di berbagai daerah
yang memiliki curah hujan rendah, maka akan sangat membantu masyarakat sekitar
untuk berbagai keperluan dan kebutuhan. Agar tanah tidak gersang dan tumbuhan
tumbuh secara subur.
Jika
peralatan yang dibuthan sudah memenuhi standar, maka Sistem flare
atau percikan garam di sayap pesawat bisa dengan lancar djalankan di daerah
yang memang membutuhkannya. Dalam hal ini peran pemerintah sangat dibutuhkan
ntuk mendukung kelancaran Teknologi Modifikasi Cuaca ini.