Minggu, 18 Maret 2012

DAMPAK GLOBALISASI DALAM BIDANG SOSIAL BUDAYA


Dampak Globalisasi dalam Bidang Sosial Budaya

Globalisasi mengubah bentuk kehidupan keseharian kita secara mendasar.

1) Meningkatnya Induvidualisme
Dulu, kesempatan individu untuk menentukan dirinya sendiri dibatasi masyarakatnya, entah leh tradisi maupun oleh kebiasaan-kebiasaan yan berlaku. Di era globalisasi ini, kesempatan individu untuk mengatur dan menentukan yang terbaik bagi dirinya sendiri sangat terbuka lebar.

2) Pola Kerja
Pekerjaan-pekerjaan mengarah ke era perekonomian berbasis pengetahuan. Orang-orang sudah tidak mengandal kerja penuh di kantor, tetapi part time job. Perempuan telah masuk dunia kerja.

3) Kebudayaan Pop
Citra, gagasan, dan gaya hidup baru menyebar dengan begitu cepat keseluruh pelosok dunia lebih daripada sebelumnya.

Dampak Globalisasi dalam bidang Sosial Budaya :
Semakin bertambah globalnya berbagai nilai budaya kaum kapitalis dalam masyarakat dunia. Merebaknya gaya berpakaian barat di negara-negara berkembang. Menjamurnya produksi film dan musik dalam bentuk kepingan CD/ VCD atau DVD.

Dampak positif Globalisasi :
1. Mudah memperoleh informasi dan ilmu pengetahuan
2. Mudah melakukan komunikasi
3. Cepat dalam bepergian ( mobili-tas tinggi )
4. Menumbuhkan sikap kosmopo-litan dan toleran
5. Memacu untuk meningkatkan kualitas diri
6. Mudah memenuhi kebutuhan

Dampak negatif Globalisasi:
1. Informasi yang tidak tersaring
2. Perilaku konsumtif
3. Membuat sikap menutup diri, berpikir sempit
4. Pemborosan pengeluaran dan meniru perilaku yang buruk
5. Mudah terpengaruh oleh hal yang berbau barat

Pengaruh globalisasi sosial dan budaya.
Globalisasi dapat memperluas kawasan budaya. Globalisasi dapat timbulkan dampak negative. Akibat dari pengaruh globalisasi:

1. Disorientasi, dislokasi atau krisis social-budaya dalam masyarakat.
2. Berbagai ekspresi social budaya asing yang sebenarnya tidak memiliki basis dan preseden kulturalnya.
3. Semakin merebaknya gaya hidup konsumerisme dan hedonisme.

Sisi negative globalisasi budaya:
1. Akibatkan erosi budaya
2. Lenyapnya identitas cultural nasional dan local
3. Kehilangan arah sbg bangsa yang memiliki jati diri.
4. Hilangnya semangat nasionalisme dan patriotisme
5. Cenderung pragmatisme dan maunya serba instant.

Sumber:
http://www.isomwebs.com/2012/dampak-globalisasi-dalam-bidang-sosial-budaya/

KEBUDAYAAN DAERAH DI PROPINSI INDONESIA


Kebudayaan Daerah Di Propinsi Indonesia

Pendahuluan
Perubahan dirasakan oleh hampir semua manusia dalam masyarakat. Perubahan dalam masyarakat tersebut wajar, mengingat manusia memiliki kebutuhan yang tidak terbatas. Kalian akan dapat melihat perubahan itu setelah membandingkan keadaan pada beberapa waktu lalu dengan keadaan sekarang. Perubahan itu dapat terjadi di berbagai aspek kehidupan, seperti peralatan dan perlengkapan hidup, mata pencaharian, sistem kemasyarakatan, bahasa, kesenian, sistem pengetahuan, serta religi/keyakinan.
Perubahan sosial merupakan bagian dari perubahan budaya. Perubahan dalam kebudayaan mencakup semua bagian, yang meliputi kesenian, ilmu pengetahuan, teknologi, filsafat dan lainnya. Akan tetapi perubahan tersebut tidak mempengaruhi  organisasi sosial masyarakatnya. Ruang lingkup perubahan kebudayaan lebih luas dibandingkan perubahan sosial. Namun demikian dalam prakteknya di lapangan kedua jenis perubahan perubahan tersebut sangat sulit untuk dipisahkan (Soekanto, 1990).
Perubahan kebudayaan bertitik tolak dan timbul dari organisasi sosial. Pendapat tersebut dikembalikan pada pengertian masyarakat dan kebudayaan. Masyarakat adalah sistem hubungan dalam arti hubungan antar organisasi dan bukan hubungan antar sel. Kebudayaan mencakup segenap cara berfikir dan bertingkah laku, yang timbul karena interaksi yang bersifat komunikatif seperti menyampaikan buah pikiran secara simbolik dan bukan warisan karena keturunan (Davis, 1960). Apabila diambil definisi kebudayaan menurut Taylor dalam Soekanto (1990), kebudayaan merupakan kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum adat istiadat dan setiap kemampuan serta kebiasaan manusia sebagai warga masyarakat, maka perubahan kebudayaan dalah segala perubahan yang mencakup unsur-unsur tersebut. Soemardjan (1982), mengemukakan bahwa perubahan sosial dan perubahan kebudayaan mempunyai aspek yang sama yaitu keduanya bersangkut paut dengan suatu cara penerimaan cara-cara baru atau suatu perbaikan dalam cara suatu masyarakat memenuhi kebutuhannya.

Latar belakang
Pertama-tama perlu saya kemukakan bahwa  masih banyak di antara masyarakat awam kita yang mengartikan “kebudayaan” sebagai “kesenian”, meskipun sebenarnya kita semua memahami bahwa kesenian hanyalah sebagian dari kebudayaan. Hal ini tentulah karena kesenian memiliki bobot besar dalam kebudayaan, kesenian sarat dengan kandungan nilai-nilai budaya, bahkan menjadi wujud dan ekspresi yang menonjol dari nilai-nilai budaya.
Dan di tengah Maraknya arus Globalisasi yang masuk ke Indonesia, melalui cara  cara tertentu membuat Dampak Positif dan Dampak Negatif nya sendiri Bagi Bangsa Indonesia. Terutama dalam Bidang Kebudayaan. Karena semakin terkikisnya nilai – nilai Budaya kita oleh pengaruh budaya Asing yang masuk ke Negara kita.
Oleh karena itu, untuk  meningkatkan ketahanan budaya bangsa, maka Pembangunan Nasional perlu bertitik-tolak dari upaya-upaya  pengem­bangan kesenian yang mampu melahirkan “nilai-tambah kultural”. Pakem-pakem seni (lokal dan nasional) perlu tetap dilanggengkan, karena berakar dalam budaya masyarakat. Melalui dekomposisi dan rekonstruksi, rekoreografi, renovasi, revitalisasi, refung­sionalisasi, disertai improvisasi dengan aneka hiasan, sentuhan-sentuhan nilai-nilai dan nafas baru, akan mengundang apresiasi dan menumbuhkan sikap posesif terhadap pembaharuan dan pengayaan karya-karya seni.  Di sinilah awal dari kesenian menjadi kekayaan budaya dan “modal sosial-kultural” masyarakat.

Pembahasan masalah
Kebudayaan lokal Indonesia yang sangat beranekaragam menjadi suatu kebanggaan sekaligus tantangan untuk mempertahankan serta mewarisi kepada generasi selanjutnya. Budaya lokal Indonesia sangat membanggakan karena memiliki keanekaragaman yang sangat bervariasi serta memiliki keunikan tersendiri. Seiring berkembangnya zaman, menimbulkan perubahan pola hidup masyakat yang lebih modern. Akibatnya, masyarakat lebih memilih kebudayaan baru yang mungkin dinilai lebih praktis dibandingkan dengan budaya lokal.
Banyak faktor yang menyebabkan budaya lokal dilupakan dimasa sekarang ini, misalnya masuknya budaya asing. Masuknya budaya asing ke suatu negara sebenarnya merupakan hal yang wajar, asalkan budaya tersebut sesuai dengan kepribadian bangsa. Namun pada kenyataannya budaya asing mulai mendominasi sehingga budaya lokal mulai dilupakan.
Faktor lain yang menjadi masalah adalah kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya peranan budaya lokal. Budaya lokal adalah identitas bangsa. Sebagai identitas bangsa, budaya lokal harus terus dijaga keaslian maupun kepemilikannya agar tidak dapat diakui oleh negara lain. Walaupun demikian, tidak menutup kemungkinan budaya asing masuk asalkan sesuai dengan kepribadian negara karena suatu negara juga membutuhkan input-input dari negara lain yang akan berpengaruh terhadap perkembangan di negranya.
Dimasa sekarang ini banyak sekali budaya-budaya kita yang mulai menghilang sedikit demi sedikit.Hal ini sangatlah berkaitan erat dngan masuknya budaya-budaya ke dalam budaya kita.Sebagai contoh budaya dalam tata cara berpakaian.Dulunya dalam budaya kita sangatlah mementingkan tata cara berpakaian yang sopan dan tertutup.Akan tetapi akaibat masuknya budaya luar mengakibatkan budaya tersebut berubah.Sekarang berpakaian yang menbuka aurat serasa sudah menjadi kebiasaan yang sudah melekat erat didalam masyarakat kita.Sebagai contoh lain jenis-jenis makanan yang kita konsumsi juga mulai terpengaruh budaya luar.Masyarakat sekarang lebih memilih makanan-makanan yang berasal dari luar seperti KFC,steak,burger,dan lain-lain.Masyarakat menganggap makanan-makanan tersebut higinis,modern,dan praktis.Tanpa kita sadari makanan-makanan tersebut juga telah menjadi menu keseharian dalam kehidupan kita.Hal ini mengakibatkan makin langkanya berbagai jenis makanan tradisional.Bila hai ini terus terjadi maka tak dapat dihindarkan bahwa anak cucu kita kelak tidak tahu akan jenis-jenis makanan tradisional yang berasal dari daerah asal mereka.
Tugas utama yang harus dibenahi adalah bagaimana mempertahankan, melestarikan, menjaga, serta mewarisi budaya lokal dengan sebaik-baiknya agar dapat memperkokoh budaya bangsa yang akan megharumkan nama Indonesia. Dan juga supaya budaya asli negara kita tidak diklaim oleg negara lain.Berikut beberapa hal yang dapat kita simak dalam rangka melestarikan budaya.

1. Kekuatan
·     Keanekaragaman budaya lokal yang ada di Indonesia
Indonesia memiliki keanekaragaman budaya lokal yang dapatdijadikan sebagai ke aset yang tidak dapat disamakan dengan budaya lokal negara lain. Budaya lokal yang dimiliki Indonesia berbeda-beda pada setiap daerah. Tiap daerah memiliki ciri khas budayanya, seperti rumah adat, pakaian adat, tarian, alat musik, ataupun adat istiadat yang dianut. Semua itu dapat dijadikan kekuatan untuk dapat memperkokoh ketahanan budaya bangsa dimata Internasional.
·     Kekhasan budaya Indonesia
Kekhasan budaya lokal yang dimiliki setiap daerah di Indonesia memliki kekuatan tersediri. Misalnya rumah adat, pakaian adat, tarian, alat musik, ataupun adat istiadat yang dianut. Kekhasan budaya lokal ini sering kali menarik pandangan negara lain. Terbukti banyaknya turis asing yang mencoba mempelajari budaya Indonesia seperti belajar tarian khas suat daerah atau mencari barang-barang kerajinan untuk dijadikan buah tangan. Ini membuktikan bahwa budaya bangsa Indonesia memiliki cirri khas yang unik.
·     Kebudayaan Lokal menjadi sumber ketahanan budaya bangsa
Kesatuan budaya lokal yang dimiliki Indonesia merupakan budaya bangsa yang mewakili identitas negara Indonesia. Untuk itu, budaya lokal harus tetap dijaga serta diwarisi dengan baik agar budaya bangsa tetap kokoh.

2. Kelemahan
·     Kurangnya kesadaran masyarakat
Kesadaran masyarakat untuk menjaga budaya lokal sekarang ini masih terbilang minim. Masyarakat lebih memilih budaya asing yang lebih praktis dan sesuai dengan perkembangan zaman. Hal ini bukan berarti budaya lokal tidak sesuai dengan perkembangan zaman, tetapi banyak budaya asing yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa. Budaya lokal juga dapat di sesuaikan dengan perkembangan zaman, asalkan masih tidak meningalkan cirri khas dari budaya tersebut.
·     Minimnya komunikasi budaya
Kemampuan untuk berkomunikasi sangat penting agar tidak terjadi salah pahaman tentang budaya yang dianut. Minimnya komunikasi budaya ini sering menimbulkan perselisihan antarsuku yang akan berdampak turunnya ketahanan budaya bangsa.
·     Kurangnya pembelajaran budaya
Pembelajaran tentang budaya, harus ditanamkan sejak dini. Namun sekarang ini banyak yang sudah tidak menganggap penting mempelajari budaya lokal. Padahal melalui pembelajaran budaya, kita dapat mengetahui pentingnya budaya lokal dalam membangun budaya bangsa serta bagaiman cara mengadaptasi budaya lokal di tengan perkembangan zaman.

3. Peluang
·     Indonesia dipandang dunia Internasional karena kekuatan budayanya
Apabila budaya lokal dapat di jaga dengan baik, Indonesia akan di pandang sebagai negara yang dapat mempertahankan identitasnya di mata Internasioanal.
·     Kuatnya budaya bangsa, memperkokoh rasa persatuan
Usaha masyarakat dalam mempertahankan budaya lokal agar dapat memperkokoh budaya bangsa, juga dapat memperkokoh persatuan. Karena adanya saling menghormati antara budaya lokal sehingga dapat bersatu menjadi budaya bangsa yang kokoh.
·     Kemajuan pariwisata
Budaya lokal Indonesia sering kali menarik perhatian para turis mancanegara. Ini dapat dijadikan objek wisata yang akan menghasilkan devisa bagi negara. Akan tetapi hal ini juga harus diwaspadai karena banyaknya aksi pembajakan  budaya yang mungkin terjadi.
·     Multikuturalisme
Dalam artikelnya, Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Lancang Kuning, Riau, Dr Junaidi SS MHum, mengatakan bahwa multikulturalisme meberikan peluang bagi kebangkitan etnik dan kudaya lokal Indonesia. Dua pilar yang mendukung pemahaman ini adalah pendidikan budaya dan komunikasi antar budaya.

4. Tantangan
·     Perubahan lingkungan alam dan fisik
Perubahan lingkungan alam dan fisik menjadi tantangan tersendiri bagi suatu negara untuk mempertahankan budaya lokalnya. Karena seiring perubahan lingkungan alam dan fisik, pola piker serta pola hidup masyakrkat juga ikt berubah
·     Kemajuan Teknologi
Meskipun dipandang banyak memberikan banyak manfaat, kemajuan teknologi ternyata menjadi salah satu factor yang menyebabkan ditinggalkannya budaya lokal. Misalnya, sistem sasi (sistem asli masyarakat dalam mengelola sumber daya kelautan/daratan) dikawasan Maluku dan Irian Jaya. Sistem sasi mengatur tata cara sertamusim penangkapan iakn di wilayah adatnya, namun hal ini mulai tidak di lupakan oleh masyarakatnya.
·     Masuknya Budaya Asing
Masuknya budaya asing menjadi tantangan tersendiri agar budaya lokal tetap terjaga. Dalam hal ini, peran budaya lokal diperlukan sebagai penyeimbang di tengah perkembangan zaman.

Perubahan budaya dan arus globalisasi mengakibatkan beberapa budaya tersingkirkan
Perubahan budaya yang terjadi di dalam masyarakat tradisional, yakni perubahan dari masyarakat tertutup menjadi masyarakat yang lebih terbuka, dari nilai-nilai yang bersifat homogen menuju pluralisme nilai dan norma social merupakan salh satu dampak dari adanya globalisasi. Ilmu pengetahuan dan teknologi telah mengubah dunia secara mendasar. Komunikasi dan sarana transportasi internasional telah menghilangkan batas-batas budaya setiap bangsa. Kebudayaan setiap bangsa cenderung mengarah kepada globalisasi dan menjadi peradaban dunia sehingga melibatkan manusia secara menyeluruh. Misalnya saja khusus dalam bidang hiburan massa atau hiburan yang bersifat masal, makna globalisasi itu sudah sedemikian terasa. Sekarang ini setiap hari kita bisa menyimak tayangan film di tv yang bermuara dari negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang, Korea, dll melalui stasiun televisi di tanah air. Belum lagi siaran tv internasional yang bisa ditangkap melalui parabola yang kini makin banyak dimiliki masyarakat Indonesia. Sementara itu, kesenian-kesenian populer lain yang tersaji melalui kaset, vcd, dan dvd yang berasal dari manca negara pun makin marak kehadirannya di tengah-tengah kita. Fakta yang demikian memberikan bukti tentang betapa negara-negara penguasa teknologi mutakhir telah berhasil memegang kendali dalam globalisasi budaya khususnya di negara ke tiga. Peristiwa transkultural seperti itu mau tidak mau akan berpengaruh terhadap keberadaan kesenian kita. Padahal kesenian tradisional kita merupakan bagian dari khasanah kebudayaan nasional yang perlu dijaga kelestariannya.
Di saat yang lain dengan teknologi informasi yang semakin canggih seperti saat ini, kita disuguhi oleh banyak alternatif tawaran hiburan dan informasi yang lebih beragam, yang mungkin lebih menarik jika dibandingkan dengan kesenian tradisional kita. Dengan parabola masyarakat bisa menyaksikan berbagai tayangan hiburan yang bersifat mendunia yang berasal dari berbagai belahan bumi. Kondisi yang demikian mau tidak mau membuat semakin tersisihnya kesenian tradisional Indonesia dari kehidupan masyarakat Indonesia yang sarat akan pemaknaan dalam masyarakat Indonesia. Misalnya saja bentuk-bentuk ekspresi kesenian etnis Indonesia, baik yang rakyat maupun istana, selalu berkaitan erat dengan perilaku ritual masyarakat pertanian. Dengan datangnya perubahan sosial yang hadir sebagai akibat proses industrialisasi dan sistem ekonomi pasar, dan globalisasi informasi, maka kesenian kita pun mulai bergeser ke arah kesenian yang berdimensi komersial. Kesenian-kesenian yang bersifat ritual mulai tersingkir dan kehilangan fungsinya. Sekalipun demikian, bukan berarti semua kesenian tradisional kita lenyap begitu saja. Ada berbagai kesenian yang masih menunjukkan eksistensinya, bahkan secara kreatif terus berkembang tanpa harus tertindas proses modernisasi. Pesatnya laju teknologi informasi atau teknologi komunikasi telah menjadi sarana difusi budaya yang ampuh, sekaligus juga alternatif pilihan hiburan yang lebih beragam bagi masyarakat luas. Akibatnya masyarakat tidak tertarik lagi menikmati berbagai seni pertunjukan tradisional yang sebelumnya akrab dengan kehidupan mereka. Misalnya saja kesenian tradisional wayang orang Bharata, yang terdapat di Gedung Wayang Orang Bharata Jakarta kini tampak sepi seolah-olah tak ada pengunjungnya. Hal ini sangat disayangkan mengingat wayang merupakan salah satu bentuk kesenian tradisional Indonesia yang sarat dan kaya akan pesan-pesan moral, dan merupakan salah satu agen penanaman nilai-nilai moral yang baik, menurut saya. Contoh lainnya adalah kesenian Ludruk yang sampai pada tahun 1980-an masih berjaya di Jawa Timur sekarang ini tengah mengalami “mati suri”. Wayang orang dan ludruk merupakan contoh kecil dari mulai terdepaknya kesenian tradisional akibat globalisasi. Bisa jadi fenomena demikian tidak hanya dialami oleh kesenian Jawa tradisional, melainkan juga dalam berbagai ekspresi kesenian tradisional di berbagai tempat di Indonesia. Sekalipun demikian bukan berarti semua kesenian tradisional mati begitu saja dengan merebaknya globalisasi.
Di sisi lain, ada beberapa seni pertunjukan yang tetap eksis tetapi telah mengalami perubahan fungsi. Ada pula kesenian yang mampu beradaptasi dan mentransformasikan diri dengan teknologi komunikasi yang telah menyatu dengan kehidupan masyarakat, misalnya saja kesenian tradisional “Ketoprak” yang dipopulerkan ke layar kaca oleh kelompok Srimulat. Kenyataan di atas menunjukkan kesenian ketoprak sesungguhnya memiliki penggemar tersendiri, terutama ketoprak yang disajikan dalam bentuk siaran televisi, bukan ketoprak panggung. Dari segi bentuk pementasan atau penyajian, ketoprak termasuk kesenian tradisional yang telah terbukti mampu beradaptasi dengan perubahan zaman. Selain ketoprak masih ada kesenian lain yang tetap bertahan dan mampu beradaptasi dengan teknologi mutakhir yaitu wayang kulit. Beberapa dalang wayang kulit terkenal seperti Ki Manteb Sudarsono dan Ki Anom Suroto tetap diminati masyarakat, baik itu kaset rekaman pementasannya, maupun pertunjukan secara langsung. Keberanian stasiun televisi Indosiar yang sejak beberapa tahun lalu menayangkan wayang kulit setiap malam minggu cukup sebagai bukti akan besarnya minat masyarakat terhadap salah satu khasanah kebudayaan nasional kita. Bahkan Museum Nasional pun tetap mempertahankan eksistensi dari kesenian tradisonal seperti wayang kulit dengan mengadakan pagelaran wayang kulit tiap beberapa bulan sekali dan pagelaran musik gamelan tiap satu minggu atau satu bulan sekali yang diadakan di aula Kertarajasa, Museum Nasional.

Peran mahasiswa dalam kebudayaan
Kita sebagai seorang mahasiswa yang aktif dan kreatif tentunya tidak ingin kebudayaan kita menjadi pudar bahkan lenyap karena pengaruh dari budaya-budaya luar.Mahasiswa memiliki kedudukan dan peranan penting dalam pelestarian seni dan budaya daerah. Hal ini didasari oleh asumsi bahwa mahasiswa merupakan anak bangsa yang menjadi penerus kelangsungan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara Indonesia. Sebagai intelektual muda yang kelak menjadi pemimpin-pemimpin bangsa, pada mereka harus bersemayam suatu kesadaran kultural sehingga keberlanjutan negara bangsa Indonesia dapat dipertahankan. Pembentukan kesadaran kultural mahasiswa antara lain dapat dilakukan dengan pengoptimalan peran mereka dalam pelestarian seni dan budaya daerah.
Optimalisasi peran mahasiswa dalam pelestarian seni dan budaya daerah dapat dilakukan melalui dua jalur, yaitu intrakurikuler dan ekstrakulikuler. Jalur Intrakurikuler dilakukan dengan menjadikan seni dan budaya daerah sebagai substansi mata kuliah; sedangkan jalur ekstrakurikuler dapat dilakukan melalui pemanfaatan unit kegiatan mahasiswa (UKM) kesenian dan keikutsertaan mahasiswa dalam kegiatan-kegiatan seni dan budaya yang diselenggarakan oleh berbagai pihak untuk pelestarian seni dan budaya daerah.

a.        Jalur Intrakurikuler
Untuk mengoptimalkan peran mahasiswa dalam pelestarian seni dan budaya daerah diperlukan adanya pemahaman mahasiswa terhadap seni dan budaya daerah. Tanpa adanya pemahaman yang baik terhadap hal itu, mustahil mahasiswa dapat menjalankan peran itu dengan baik.  Peningkatan pemahaman mahasiswa terhadap seni dan budaya daerah dapat dilakukan melalui jalur intrakurikuler; artinya seni dan budaya daerah dijadikan sebagai salah satu substansi atau materi pembelajaran dalam satu mata kuliah atau dijadikan sebagai mata kuliah. Kemungkinan yang pertama dapat dilakukan melalui mata kuliah  Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (ISBD) bagi mahasiswa program studi eksakta, dan Ilmu Budaya Dasar dan Antropologi Budaya bagi mahasiswa program studi ilmu sosial. Dalam dua mata kuliah itu terdapat beberapa pokok bahasan yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan pemahaman mahasiswa terhadap seni dan budaya daerah yaitu tentang manusia dan kebudayaan, manusia dan peradaban, dan manusia, sains teknologi, dan sen.Kemungkinan yang kedua tampaknya telah diakomodasi dalam kurikulum program studi-program studi yang termasuk dalam rumpun ilmu budaya seperti program studi di lingkungan Fakultas Sastra atau Fakultas Ilmu Budaya. Beberapa mata kuliah yang secara khusus dapat digunakan untuk meningkatkan pemahaman terhadap seni dan budaya daerah adalah Masyarakat dan Kesenian Indonesia, Manusia dan Kebudayaan Indonesia, dan Masyarakat dan Kebudayaan Pesisir. Melalui mata kuliah-mata kuliah itu, mahasiswa dapat diberi penugasan untuk melihat, memahami, mengapresiasi, mendokumentasi, dan membahas seni dan budaya daerah. Dengan kegiatan-kegiatan semacam itu pemahaman mahasiswa terhadap seni dan budaya daearah akan meningkat yang juga telah melakukan pelestarian.
Jalur intrakurikuler lainnya yang dapat digunakan untuk meningkatkan pemahaman bahkan mengoptimalkan peran mahasiswa dalam pelestarian seni dan budaya daerah adalah Kuliah Kerja Nyata (KKN). Mahasiswa-mahasiswa yang telah mendapatkan pemahaman yang mencukupi terhadap seni dan budaya daerah dapat berkiprah langsung dalam pelestarian dan pengembangan seni dan budaya daerah.

b.        Jalur Ekstrakurikuler
Pembentukan dan pemanfaatan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Kesenian Jawa (Daerah Lainnya) merupakan langkah lain yang dapat ditempuh untuk mengoptimalkan peran mahasiswa dalam pelestarian seni dan budaya daerah. Sehubungan dengan hal itu, pimpinan perguruan tinggi perlu mendorong pembentukan UKM Kesenian Daerah. Lembaga kemahasiswaan itu merupakan wahana yang sangat strategis untuk upaya-upaya tersebut, karena mereka adalah mahasiswa yang benar-benar berminat dan berbakat dalam bidang seni tradisi. Latihan-latihan secara rutin sebagai salah satu bentuk kegiatan UKM kesenian daerah (Jawa misalnya) yang pada gilirannya akan berujung pada pementasan atau pergelaran merupakan bentuk nyata dari pelestarian seni dan budaya daerah.
Forum-forum festival seni mahasiswa semacam Pekan Seni Mahasiswa Tingkat Nasional (Peksiminas) merupakan wahana yang lain untuk pengoptimalan peran mahasiswa dalam pelestarian seni dan budaya daerah.

Kesimpulan
Dari Penulisan Makalah ini saya dapat menyimpulkan Bahwa Perubahan Dinamis dan arus Globalisasi yang tinggi menyebabkan Masyarakat kita sebagai bangsa indonesia yang memiliki banyak dan beragam kebudayaan kurang memiliki kesadaran akan pentingnya peranan budaya lokal kita ini dalam memperkokoh ketahanan Budaya Bangsa. Padahal sesungguhnya Budaya Lokal yang kita miliki ini dapat menjadikan kita lebih bernilai dibandingkan bangsa lain karena betapa berharganya nilai – nilai budaya lokal yang ada di negara ini. Untuk itu seharusnya kita bisa lebih tanggap dan peduli lagi terhadap semua kebudayaan yang ada di indonesia ini. Selain itu kita harus memahami arti kebudayaan serta menjadikan keanekaragaman budaya yang ada di Indonesia sebagai sumber kekuatan untuk ketahanan budaya bangsa.Agar budaya kita tetap terjaga dan tidak diambil oleh bangsa lain. Karena kekayaan bangsa Indonesia yang tidak ternilai harganya itu dan tidak pula dimiliki oleh bangsa-bangsa asing. Oleh sebab itu, sebagai generasi muda, yang merupakan pewaris budaya bangsa, hendaknya memelihara seni budaya kita demi masa depan anak cucu.


Daftar pustaka
http://tiuii.ngeblogs.com/2009/10/23/peran-budaya-lokal-memperkokoh-ketahanan-budaya-bangsa-2/
http://staff.undip.ac.id/sastra/dhanang/2009/07/23/peningkatan-kualitas-pembelajaran-sejarah-dan/
http://rendhi.wordpress.com/makalah-pengaruh-globalisasi-terhadap-eksistensi-kebudayaan-daerah/

KEBUDAYAAN NASIONAL INDONESIA


MAKALAH KEBUDAYAAN NASIONAL INDONESIA :

PENATAAN POLA PIKIR

Pendahuluan
Sejak proklamasi kemerdekaan hingga saat sekarang ini telah banyak pengalaman yang diperoleh bangsa kita tentang kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam negara Republik Indonesia, pedoman acuan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara itu adalah nilai-nilai dan norma- norma yang termaktub dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, sebagai sumber dan disain bagi terbentuknya kebudayaan nasional.
Namun kita juga telah melihat bahwa, khususnya dalam lima tahun terakhir, telah terjadi krisis pemerintahan dan tuntutan reformasi (tanpa platform yang jelas) yang menimbulkan berbagai ketidakmenentuan dan kekacauan. Acuan kehidupan bernegara (governance) dan kerukunan sosial (social harmony) menjadi berantakan dan menumbuhkan ketidakpatuhan sosial (social disobedience). Dari sinilah berawal tindakan-tindakan anarkis, pelanggaran-pelanggaran moral dan etika, tentu pula tak terkecuali pelanggaran hukum dan meningkatnya kriminalitas. Di kala hal ini berkepanjangan dan tidak jelas kapan saatnya krisis ini akan berakhir, para pengamat hanya bisa mengatakan bahwa bangsa kita adalah ?bangsa yang sedang sakit, suatu kesimpulan yang tidak pula menawarkan solusi.
Timbul pertanyaan: mengapa bangsa kita dicemooh oleh bangsa lain Mengapa pula ada sejumlah orang Indonesia yang tanpa canggung dan tanpa merasa risi dengan mudah berkata, Saya malu menjadi orang Indonesia dan bukannya secara heroik menantang dan mengatakan,Saya siap untuk mengangkat Indonesia dari keterpurukan ini? Mengapa pula wakil-wakil rakyat dan para pemimpin malahan saling tuding sehingga menjadi bahan olok-olok orang banyak. Mengapa pula banyak orang, termasuk kaum intelektual, kemudian menganggap Pancasila harus disingkirkan sebagai dasar negara? Kaum intelektual yang sama di masa lalu adalah penatar gigih, bahkan manggala dalam pelaksanaan Penataran P-4. Pancasila adalah asas bersama bagi bangsa ini (bukan asas tunggal). Di samping itu, makin banyak orang yang kecewa berat
terhadap, bahkan menolak, perubahan UUD 1945 (lebih dari sekedar amandemen) sehingga perannya sebagai pedoman dan acuan kehidupan berbangsa dan bernegara dapat diibaratkan sebagai menjadi lumpuh.
Perjalanan panjang hampir enam dasawarsa kemerdekaan Indonesia telah memberikan banyak pengalaman kepada warganegara tentang kehidupan berbangsa dan bernegara. Nation and character building sebagai cita- cita membentuk kebudayaan nasional belum dilandasi oleh suatu strategi budaya yang nyata (padahal ini merupakan konsekuensi dari dicetuskannya Proklamasi Kemerdekaan sebagai de hoogste politieke beslissing dan diterimanya Pancasila sebagai dasar negara dan UUD 1945 sebagai hukum dasar negara

Proses Pembentukan Kebudayaan Nasional Indonesia: Identitas Nasional Dan Kesadaran Nasional
Di masa lalu, kebudayaan nasional digambarkan sebagai puncak-puncak kebudayaan di daerah-daerah di seluruh Indonesia. Namun selanjutnya, kebudayaan nasional Indonesia perlu diisi oleh nilai-nilai dan norma- norma nasional sebagai pedoman bagi kehidupan berbangsa dan bernegara di antara seluruh rakyat Indonesia. Termasuk di dalamnya adalah nilai-nilai yang menjaga kedaulatan negara dan integritas teritorial yang menyiratkan kecintaan dan kebanggaan terhadap tanah air, serta kelestariannya, nilai-nilai tentang kebersamaan, saling menghormati, saling mencintai dan saling menolong antar sesama warganegara, untuk bersama-sama menjaga kedaulatan dan martabat bangsa.
Pembentukan identitas dan karakter bangsa sebagai sarana bagi pembentukan pola pikir (mindset) dan sikap mental, memajukan adab dan kemampuan bangsa, merupakan tugas utama dari pembangunan kebudayaan nasional. Singkatnya, kebudayaan nasional adalah sarana bagi kita untuk memberikan jawaban atas pertanyaan:. Siapa kita (apa identitas kita) Akan kita jadikan seperti apa bangsa kita? Watak bangsa semacam apa yang kita inginkan? Bagaimana kita harus mengukir wujud masa depan bangsa dan tanah air kita??
Jawaban terhadap sederet pertanyaan di atas telah dilakukan dalam berbagai wacana mengenai pembangunan kebudayaan nasional dan pengembangan kebudayaan nasional. Namun strategi kebudayaan nasional untuk menjawab wacana tersebut di atas belum banyak dikemukakan dan dirancang selama lebih dari setengah abad usia negara ini, termasuk dalam kongres-kongres kebudayaan yang lalu. Gagasan tentang kebudayaan nasional Indonesia yang menyangkut kesadaran dan identitas sebagai satu bangsa sudah dirancang saat
bangsa kita belum merdeka. Hampir dua dekade sesudah Boedi Oetomo, Perhimpunan Indonesia telah menanamkan kesadaran tentang identitas Indonesia dalam Manifesto Politiknya (1925), yang dikemukakan dalam tiga hakekat, yaitu: (1) kedaulatan rakyat, (2) kemandirian dan (3) persatuan Indonesia. Gagasan ini kemudian segera direspons dengan semangat tinggi oleh Sumpah Pemuda pada tahun 1928.
Makalah ini akan membatasi diri pada dua hal pokok yang menurut hemat penulis? perlu menjadi titik-tolak utama dalam membentuk kebudayaan nasional, yaitu: (1) identitas nasional dan (2) kesadaran nasional. Dalam kaitan ini, Bhineka Tunggal Ika adalah suatu manifesto kultural (pernyataan das Sollen) dan sekaligus merupakan? suatu titik-tolak strategi budaya untuk bersatu sebagai satu bangsa.
Di masa awal Indonesia merdeka, identitas nasional ditandai oleh bentuk fisik dan kebijakan umum bagi seluruh rakyat Indonesia (di antaranya adalah penghormatan terhadap Sang Saka Merah-Putih, lagu kebangsaan Indonesia Raya, Bahasa Nasional, pembentukan TKR yangkemudian menjadi TNI, PNS, sistem pendidikan nasional, sistem hukum  nasional, sistem perekonomian nasional, sistem pemerintahan dan sistem birokrasi nasional.). Di pihak lain, kesadaran nasional dipupuk dengan menanamkan gagasan nasionalisme dan patriotisme.
Kesadaran nasional selanjutnya menjadi dasar dari keyakinan akan perlunya memelihara dan mengembangkan harga diri bangsa, harkat danmartabat bangsa sebagai perjuangan mencapai peradaban, sebagai upaya  melepaskan bangsa dari subordinasi (ketergantungan, ketertundukan, keterhinaan) terhadap bangsa asing atau kekuatan asing. Secara internal manusia dan masyarakat memiliki intuisi dan aspirasi untuk mencapai kemajuan. Secara internal, pengaruh dari luar selalu mendorong masyarakat, yang dinilai statis sekali pun, untuk bereaksi terhadap rangsangan-rangsangan dari lingkungannya. Rangsangan besar dari lingkungan pada saat ini datang dari media masa, melalui pemberitaan maupun pembentukan opini. Pengaruh internal dan khususnya eksternal ini merupakan faktor strategis bagi terbentuknya suatu kebudayaan nasional. Sistem dan media komunikasi menjadi sarana strategis yang dapat diberi peran strategis pula untuk memupuk identitas nasional dan kesadaran nasional.

Bangsa Indonesia: Pluralistik dan Multikultural
Kita tidak dapat pula mengingkari sifat pluralistik bangsa kita sehingga perlu pula memberi tempat bagi berkembangnya kebudayaan sukubangsa dan kebudayaan agama yang dianut oleh warganegara Indonesia. Dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan sukubangsa dan kebudayaan agama, bersama-sama dengan pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara, mewarnai perilaku dan kegiatan kita. Berbagai kebudayaan itu berseiringan, saling melengkapi dan saling mengisi, tidak berdiri sendiri-sendiri, bahkan mampu untuk saling menyesuaikan (fleksibel) dalam percaturan hidup sehari-hari.
Dalam konteks itu pula maka ratusan suku-sukubangsa yang terdapat di Indonesia perlu dilihat sebagai aset negara berkat pemahaman akan lingkungan alamnya, tradisinya, serta potensi-potensi budaya yang dimilikinya, yang keseluruhannya perlu dapat didayagunakan bagi pembangunan nasional. Di pihak lain, setiap sukubangsa juga memiliki hambatan budayanya masing-masing, yang berbeda antara sukubangsa yang satu dengan yang lainnya. Maka menjadi tugas negaralah untuk memahami, selanjutnya mengatasi hambatan-hambatan budaya masing- masing sukubangsa, dan secara aktif memberi dorongan dan peluang bagi munculnya potensi-potensi budaya baru sebagai kekuatan bangsa.
Banyak wacana mengenai bangsa Indonesia mengacu kepada ciri pluralistik bangsa kita, serta mengenai pentingnya pemahaman tentang masyarakat Indonesia sebagai masyarakat yang multikultural. Intinya adalah menekankan pada pentingnya memberikan kesempatan bagi berkembangnya masyarakat multikultural itu, yang masing-masing harus diakui haknya untuk mengembangkan dirinya melalui kebudayaan mereka di tanah asal leluhur mereka. Hal ini juga berarti bahwa masyarakat multikultural harus? memperoleh kesempatan yang baik untuk menjaga dan mengembangkan kearifan budaya lokal mereka ke arah kualitas dan pendayagunaan yang lebih baik.
Kelangsungan dan berkembangnya kebudayaan lokal perlu dijaga dan dihindarkan dari hambatan. Unsur-unsur budaya lokal yang bermanfaat bagi diri sendiri bahkan perlu dikembangkan lebih lanjut agar dapat menjadi bagian dari kebudayaan bangsa, memperkaya unsur-unsur kebudayaan nasional. Meskipun demikian, sebagai kaum profesional Indonesia, misi utama kita adalah mentransformasikan kenyataan multikultural sebagai aset dan sumber kekuatan bangsa, menjadikannya suatu sinergi nasional, memperkukuh gerak konvergensi, keanekaragaman.
Oleh karena itu, walaupun masyarakat multikultural harus dihargai potensi dan haknya untuk mengembangkan diri sebagai pendukung kebudayaannya di atas tanah kelahiran leluhurnya, namun pada saat yang sama, mereka juga harus tetap diberi ruang dan kesempatan untuk mampu melihat dirinya, serta dilihat oleh masyarakat lainnya yang sama-sama merupakan warganegara Indonesia, sebagai bagian dari bangsa Indonesia, dan tanah leluhurnya termasuk sebagai bagian dari tanah air Indonesia. Dengan demikian, membangun dirinya, membangun tanah leluhurnya, berarti juga membangun bangsa dan tanah air tanpa merasakannya sebagai beban, namun karena ikatan kebersamaan dan  saling bekerjasama.

Upaya Membangun Kebudayaan Nasional Indonesia: Penataan Pola Pikir
Kita perlu memahami kembali bahwa warga dari bangsa yang pluralistik ini adalah rakyat yang juga warganegara dari Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Karena itu diperlukan adanya wawasan? dan pemahaman mengenai kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kita juga harus membuka diri untuk memahami Pancasila, sekaligus bersedia membedakan antara substansi ideal dan kemuliaannya sebagai dasar peradaban, dengan Pancasila yang pelaksanaannya sengaja dikemas dan absurd secara politis demi kepentingan memperoleh dan mempertahankan kekuasaan, yang telah menyebabkan Pancasila dikambinghitamkan dan dibenci sebagai penyebab timbulnya kediktatoran. Sejak mundurnya Presiden Soeharto, di lingkungan masyarakat awam dan profesional tak jarang terdengar pernyataan kejenuhan, kebencian atau alergi terhadap perkataan Pancasila. Sebaliknya kita harus memahami Pancasila yang lahir dari hasil pikiran para pendiri Republik Indonesia yang kemudian dirangkum oleh Bung Karno pada saat lahirnya pada tanggal 1 Juni 1945, untuk dijadikan Dasar Negara, sebagai jawaban atas pertanyaan Dr. K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat:Apa dasar negara kita nanti.
Kelima butir Pancasila itu merupakan refleksi buah pikiran yang telah secara tulus ikhlas dipersiapkan secara serius dan mendalam oleh para pendiri negara kita menjelang Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, kemudian dimatangkan (dalam wadah Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, disingkat BPUPKI) untuk menjadi pedoman berperilaku nasional dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan dasar negara itu maka bangsa ini memiliki pegangan dan rujukan, tidak ela-elo (Sastro Gending di zaman Sultan Agung yang menggambarkan porak-porandanya bangsa ini, seakan kehilangan pegangan, jati diri, harga diri dan percaya diri).
Amandemen UUD 1945 yang dilakukan oleh wakil-wakil rakyat kita baru- baru ini, di mana Pancasila tersurat di dalamnya, dinilai tidak sesuai dengan tujuannya melainkan justru merubah makna yang terkandung di dalamnya. Oleh karena itu, pada saat generasi penerus dan cendekiawan kita masa kini belum mampu menyusun suatu? pedoman acuan lain yang dianggap dapat mengungguli Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945 untuk menjaga persatuan bangsa, mensejahterakan rakyat Indonesia dan menjaga keutuhan tanah air kita, maka pada saat ini, niat untuk menghapus Pancasila itulah yang harus ditanggalkan dari mindset kita. Sebaliknya, distorsi terhadap mindset perlu diluruskan dengan cara memahami Pancasila yang sebenarnya. Hal ini merupakan suatu tindakan yang dilandasi oleh suatu urgensi untuk menghindarkan bangsa kita dari ketidakadilan yang menyebabkan kekacauan, ketidakrukunan, makin luasnya disintegrasi sosial, serta koyaknya keutuhan negara.
Bukanlah suatu hal yang aneh atau tabu, atau dinilai ketinggalan zaman bila kita menoleh kembali kepada nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945 yang sudah disiapkan oleh para pendiri negara kita. Hakekat reformasi adalah pembaharuan dan juga back-to- basics, dalam arti meluruskan yang keliru dan keluar jalur. Kemajuan peradaban tidak terlepas dari proses pembelajaran makna? sejarah sebagai acuan untuk membangun masa depan.
Nilai-nilai dalam UUD 1945 menanamkan pentingnya kehidupan yang cerdas, yang diutarakan dalam kalimat ?mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diartikan sebagai membangun kehidupan yang bermartabat,  tidak rendah diri, dan mampu menjadi tuan di negeri sendiri. Terdistorsinya nilai-nilai ini? terlihat dari contoh yang sedang kita saksikan sekarang ini (dan sebagian dari kita mewajarkannya pula), yaitu adanya pembodohan sosial di hadapan kita, antara lain dengan diajukannya pandangan bahwa nation state tidak relevan lagi di dalam globalisasi, dalam dunia yang borderless. Paham borderless world ini tentu banyak ditentang oleh negara-negara yang lemah, namun didukung oleh negara-negara kuat yang memelihara hegemonisme dan predatorisme. [6] Pelaku dan korban pembodohan sosial ini tak terkecuali pula sebagian dari kaum intelektual kita, yang sama-sama termakan oleh pola pikir atau mindset asing yang dengan sengaja ingin menempatkan bangsa kita pada posisi subordinasi

Strategi Budaya: Mutualisme Dan Kerjasama Sinergis
Upaya untuk membentuk suatu mindset kebersamaan dan kerjasama sinergis bangsa Indonesia dan membangun rasa kekeluargaan (brotherhood, bukan kinship), perasaan saling memiliki (shared intrerest dan common property) perlu dikembangkan, baik yang berada di tingkat keluarga, ketetanggaan, masyarakat luas hingga ke tingkat negara. Demikian pula halnya, orientasi mutualisme dan kerjasama sinergis sebagai jiwa dalam UUD 1945 itu harus menjadi titik-tolak dan landasan bagi penyusunan program-program pembangunan nasional secara luas. Menurut hemat penulis, hal ini bukanlah sesuatu yang mustahil untuk dilaksanakan. Perencanaan pembangunan nasional harus pula memiliki metode dan mekanisme untuk mewujudkan program-program atau pun proyek-proyek yang memfasilitasi terbentuknya prinsip-prinsip mutualitas dan kebersamaan sinergis Beberapa contoh akan dikemukakan di bawah ini.
Di bidang pendidikan nasional, misalnya, penataan pola pikir harus dilakukan dalam sistem pendidikan nasional dengan tujuan menghilangkan unsur-unsur yang mendorong orientasi persaingan yang berlebihan dan tidak fair, atau bahkan telah menimbulkan semacam permusuhan (dimulai dari sistem ranking, pembedaan jenis dan kualitas sekolah, lengkap dengan istilahnya seperti sekolah unggulan dan bukan sekolah unggulan, hingga persaingan antar sekolah yang berwujud tawuran pelajar dan perbuatan negatif lainnya). Persaingan haruslah sebatas berlomba, bukan eksklusivisme yang mengakibatkan renggangnya kerukunan sosial. Penataan pola pikir dalam sistem pendidikan nasional harus menum buhkan pola kerjasama antar siswa, misalnya melalui praktek-praktek kegiatan belajar yang diisi “proyek bersama” siswa dalam pembahasan materi pelajaran, atau pelaksanaan kegiatan seni-budaya dan rekreasi bersama antar sekolah-sekolah, menanamkan kesadaran sebagai siswa sekolah Indonesia, di manapun tempat bersekolahnya.
Modernisasi tidak dapat dipisahkan dari pendidikan. Upaya bertahan hidup (survival) ditentukan oleh pendidikan dan proses pembelajaran yang menyertainya. Dari yang dikemukakan di atas, pendidikan merupakan faktor terpenting untuk proses pembentukan dan pemantapan identitas nasional dan kesadaran nasional serta memformulasikan mindset bangsa. Sosialisasi dari platform rnasional akan memformulasi mindset masyarakat. Adalah suatu kecelakaan besar bahwa posisi dan peran kebudayaan dalam pembangunan nasional telah direduksi dengan dipindahkannya Direktorat Jenderal Kebudayaan ke luar Departemen Pendidikan Nasional. Oleh karena itu kini Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata menyandang tugas berat sebagai lembaga yang harus mentransformasikan nilai-nilai budaya ke dalam penyelenggaraan pendidikan dan pembelajaran, sehingga kebudayaan tidak tereduksi menjadi sekedar kesenian dan pariwisata. Dengan demikian pendidikan dan kebudayaan dapat tetap utuh untuk berperan dan mampu berdialog dengan peradaban.
Di bidang sosial-budaya, dalam konteks mutualisme dan perasaan saling memiliki, suatu hal yang juga penting sebagai suatu proses alamiah yang telah ikut memberikan isi kepada kesadaran nasional dan identitas nasional adalah ketika kebersamaan memperoleh esensi persaudaraan (brotherhood) dan keluarga luas (extended family), dengan makin meningkatnya perkawinan antarsukubangsa di tengah masyarakat kita, yang menimbulkan perasaan saling menghargai dan kebersamaan, meskipun masing-masing pihak tetap memelihara identitasnya. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Gudykunst dan Young Yun Kim yang menggambarkan komunikasi yang mencerminkan mutualisme, perasaan bersama dan sinergi (togetherness) dalam tulisan mereka, Communicating with Strangers (1997). Dalam pemahaman prinsip kebersamaan dan kerjasama sinergi ini pula kita dapat lebih mengamati adanya primordialisme yang memperoleh makna baru di antara masyarakat kita.
Dengan orientasi kebersamaan dan kerjasama pula, di bidang perhubungan, perlu digerakkan usaha seluruh maskapai penerbangan nasional untuk maju bersama demi kemajuan seluruh bangsa. Penggunaan berbagai jenis pesawat yang mampu menerobos isolasi, menjangkau pelosok tanah air yang terpencil serta mendekatkan jarak sosial- politik dan jarak psiko-sosiokultural di dalam jarak mileage fisik. Demikian pula dengan pembangunan industri pariwisata di berbagai pelosok tanah air.
Di bidang ekonomi, mutualisme memang dapat lebih nyata dan praktis dilaksanakan. Baru-baru ini kita telah melihat proses mulai tumbuhnya kerjasama antar provinsi yang jauh dari pola pikir persaingan, melainkan dilandasi oleh pola pikir kebersamaan dan mutualitas, sebagaimana yang ditunjukkan oleh gagasan untuk membentuk Gerakan Pembangunan Mina Bahari. Penulis menyaksikan semangat menggebu-gebu dari para camat dan bupati yang mulai merancang program kerja antar daerah yang termasuk dalam jangkauan gerakan pembangunan di Teluk Tomini itu. Percikan semangat kebersamaan itu bahkan juga menjangkau komuniti nelayan Bajo yang masih hidup dalam kondisi keterbatasan sosial-ekonomi di Kecamatan Pagimana, Kabupaten Luwuk, Sulawesi Tengah, yang berharap memperoleh partisipasi pula dalam gerakan pembangunan ini melalui pemanfaatan potensi budaya mereka sebagai nelayan. Dengan demikian, manfaatnya tidak saja berupa keuntungan ekonomi yang bersifat regional melainkan juga nasional. Selain itu proyek ini juga dapat memberikan kebanggaan daerah dan kebanggaan nasional, perluasan tenaga kerja, sekaligus meningkatkan harkat ekonomi dan sosial rakyat di daerah- daerah, termasuk rakyat kecil, yang bersemangat untuk membangun daerah mereka agar menjadi tuan di negeri sendiri. Semangat ini telah mulai membentukkan suatu kohesi sosial, yang makin luas jangkauan teritorialnya, dan akan makin luas pula dampaknya terhadap penjalinan persatuan nasional. Di samping itu perlu pula diberikannya peluang yang mendorong kemampuan entrepreneurial dalam masyarakat.
Di bidang hukum, kasus-kasus penggusuran yang tidak memihak rakyat dan merupakan kasus-kasus alienasi dan marginalisasi, pelumpuhan dan pemiskinan terhadap suatu kelompok, merupakan hal-hal yang bertentangan dengan mutualisme dan keadilan sosial, dan harus segera dihentikan. Hal ini bertentangan dengan amanah Pembukaan UUD 1945: melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia Penataan pola pikir perlu dilakukan terhadap sistem hukum yang tidak dilandasi oleh keberpihakan dan perlindungan kepada rakyat, sebagai perwujudan dari nilai-nilai dalam Preambul UUD 1945 itu.
Berbagai contoh di atas kiranya juga menunjukkan bahwa otonomi daerah tidak akan berjalan dengan baik jika pembangunan daerah tidak dilandasi oleh orientasi pola pikir kerjasama. Kebersamaan dan kerjasama antar Pemda-Pemda di tingkat kabupaten, antar Kabupaten dan Provinsi, juga harus beriorientasi pada pola pikir membangun seluruh bangsa Indonesia, bukan sekedar membangun rakyat lokal. Sulit diperkirakan tentang akan tercapainya keberhasilan otonomi daerah yang masih dilandasi oleh orientasi pola pikir persaingan (mengabaikan kerjasama) dan orientasi penguasaan (eksklusivisme
sumber daya alam dan sumber daya manusia) di antara provinsi, hanya akan mempercepat jatuhnya bangsa lewat otonomi daerah yang tidak ditunjang oleh sikap mental mutualistik dan kerjasama demi kesatuan bangsa.

Penutup
Sebagai penutup dapat diulangi di sini bahwa dalam penataan mindset untuk membentuk kebudayaan nasional Indonesia, makalah ini mengambil titik-tolak utama sebagai awal strategis: (1) identitas nasional dan (2) kesadaran nasional Pertama, rakyat Indonesia yang pluralistik merupakan kenyataan, yang harus dilihat sebagai aset nasional, bukan resiko atau beban. Rakyat adalah potensi nasional harus diberdayakan, ditingkatkan potensi dan produktivitas fisikal, mental dan kulturalnya. Kedua, tanah air Indonesia sebagai aset nasional yang terbentang dari Sabang sampai Merauke dan dari Miangas sampai Rote, merupakan tempat bersemayamnya semangat kebhinekaan. Adalah kewajiban politik dan intelektual kita untuk mentransformasikan kebhinekaan menjadi ketunggalikaan dalam identitas dan kesadaran nasional. Ketiga, diperlukan penumbuhan pola pikir yang dilandasi oleh prinsip mutualisme, kerjasama sinergis saling menghargai dan memiliki (shared interest) dan menghindarkan pola pikir persaingan tidak sehat yang menumbuhkan eksklusivisme, namun sebaliknya, perlu secara bersama-sama berlomba meningkatkan daya saing dalam tujuan peningkatan kualitas sosial-kultural sebagai bangsa. Keempat, membangun kebudayaan nasional Indonesia harus mengarah kepada suatu strategi kebudayaan untuk dapat menjawab pertanyaan, Akan kita jadikan seperti apa bangsa kita yang tentu jawabannya adalah menjadi bangsa yang tangguh dan entrepreneurial, menjadi bangsa Indonesia dengan ciri-ciri nasional Indonesia, berfalsafah dasar Pancasila, bersemangat bebas-aktif mampu menjadi tuan di negeri sendiri, dan mampu berperanan penting dalam percaturan global dan dalam kesetaraan juga mampu menjaga perdamaian dunia. Kelima, yang kita hadapi saat ini adalah krisis budaya. Tanpa segera ditegakkannya upaya membentuk secara tegas identitas nasional dan kesadaran nasional, maka bangsa ini akan menghadapi kehancuran.

DAFTAR PUSTAKA ACUAN
Anderson, Benedict. (1983). Imagined Communities: Reflection on
the Origin and Spread of Nationalism, Wonder: Verso.
Danusiri, Aryo & Wasmi Alhaziri, ed. (2002). Pendidikan Memang
Multikultural: Beberapa Gagasan. Jakarta: SET.
Forum Rektor Indonesia Simpul Jawa Timur (2003). Hidup Berbangsa dan
Etika Multikultural. Surabaya: Penerbit Forum Rektor Simpul Jawa
Timur Universitas Surabaya.
Greenfeld, Leah (2001). The Spirit of Capitalism: Nationalism and
Economic Growth, Cambridge, Mass.: Harvard University Press
Gudykunst, William B. dan Young Yun Kim (1997). Communicating with
Strangers. Boston: McGraw Hill.
Kompas (2003). ?Presiden Canangkan Gerbang Mina Bahari?, hlm. 11
kol. 1-3, 12 Oktober.
Lustick, Ian S. (2002). ?Hegemony and the Riddle of Nationalism: The
Dialectics of Nationalism and Religion in the Middle East?, Logos
Vol. One, Issue Three, Summer , hlm. 18-20.
Petras, James dan Henry Veltmeyer (2001). Globalization Unmasked:
Imperialism in the 20 th Century. London: Zed Books, 2001. ?
Smith, J.W. (2000). Economic Democracy: The Political Struggle of
the Twenty-First Century, New York: M.E. Sharpe.
Sulastomo (2003). Reformasi: Antara Harapan dan Realita. Jakarta:
Penerbit Buku Kompas.
Swasono, Meutia F.H. (1974). Generasi Muda Minangkabau di Jakarta:
Masalah Identitas Sukubangsa. Skripsi Sarjana. Jakarta: Fakultas
Sastra UI.
— (1999). ?Reaktualisasi dan Rekontekstualisasi Bhinneka Tunggal
Ika dalam Kerangka Persatuan dan Kesatuan Bangsa?, makalah pada
seminar yang diselenggarakan oleh IAIN Syarif Hidayatullah dan
Yayasan Haji Karim Oei, Jakarta, 6 Mei.
(2000a). ?Reaktualisasi Bhinneka Tunggal Ika dalam Menghadapi
Disintegrasi Bangsa?, makalah diajukan dalam Simposium dan Lokakarya
Internasional dengan? tema ?Mengawali Abad ke-21: Menyongsong
Otonomi Daerah, Mengenali Budaya Lokal, Membangun Integrasi Bangsa?,
diselenggarakan oleh Jurnal Antropologi Indonesia bekerjasama dengan
Jurusan Antropologi Universitas Hasanuddin, di ?Makassar, 1-5
Agustus 2000.
— (2000b). ?Kebudayaan? Nasional sebagai Kekuatan Pemersatu
Bangsa?, makalah dalam Seminar Sehari tentang Aktualisasi Nilai-
Nilai Sumpah Pemuda dan Bhineka Tunggal Ika, diselenggarakan oleh
DPP Badan Interaksi Sosial Masyarakat (DPP-BISMA) di Jakarta, 25
November.
— (2002). ?Strategi Pembangunan dan Pengembangan Pariwisata?
Menjelang AFTA 2002?, Perencanaan Pembangunan. Januari-Maret 2003,
hlm. 10-15.
— (2003a). ?Merancang Masa Depan Indonesia di Tengah Tantangan
Globalisasi dan Demokratisasi?, makalah diajukan dalam Seminar
Nasional Merancang Masa Depan Indonesia di Tengah Tantangan
Globalisasi dan Demokratisasi, diselenggarakan oleh Senat Mahasiswa
FISIP-UI di Depok, 30-31 Januari.
— (2003b). 4. ?Membangun Kebudayaan Nasional?, majalah Perencanaan
Pembangun?an, No.31,? April-Juni 2003,? hlm. 42-48.
— (2003c). ?Masalah Psikososial, Pandangan Masyarakat tentang
Kesehatan Jiwa, dan Membangun Jiwa Bangsa?, makalah diajukan pada
Konvensi Nasional Kesehatan Jiwa II di Jakarta, 9-11 Oktober.
Swasono, S.E. (2003a). ?Pluralisme, Mutualisme dan Semangat Bersatu:
Mempertanya?kan Jatidiri Bangsa?, makalah utama diajukan pada Dies
Natalis ke-57 Fakultas Ilmu Budaya UGM, Yogyakarta 25 Februari 2003.
Swasono, S.E. (2003b). Kemandirian Bangsa, Tantangan Perjuangan dan
Entre?preneurship Indonesia. Yogyakarta: Universitas Janabadra.
Tambunan, A.S.S. (2002). UUD 1945 Sudah Diganti Menjadi UUD 2002
Tanpa Mandat Khusus Rakyat. Jakarta: Yayasan Kepada Bangsaku.